Indonesia Blogger Community

Saturday, November 14, 2009

Meninjau Kembali Pancasila: Visi Sosialisme Indonesia


By: Adi Permana
(Tulisan Bebas)

"Hendaknya Sosialisme itu berlandaskan Demokrasi, dan Demokrasi itu berlandaskan ketundukan kita terhadap Tuhan."

Manfaat yang diperoleh dari tiga prinsip keTuhanan, Demokrasi, dan Sosialisme:

1) KeTuhanan--> Implikasi logis dari keyakinan pada Tuhan adalah terbentuknya sifat dan sikap kerendahan hati dalam diri seseorang. Mengakui bahwa ada Yang Mutlak atau Yang Maha Benar berarti sebagai manusia kita harus 'tahu diri' (tidak sombong). Menyadari bahwa hanya dengan cara mendengarkan orang lain, menghargai orang lain, dan tidak merendahkan orang lain (Demokrasi) seseorang bisa mendekatkan diri pada Kebenaran. Mengusahakan keadilan sosial (Sosialisme) bukan karena kepentingan kekuasaan duniawi yang temporer, akan tetapi karena ketundukan terhadap kekuasaan Tuhan Yang Kekal di mana mengandung makna bahwa datangnya generasi manusia berikutnya adalah 'Abadi Hukumnya' sehingga kita wajib mewariskan kepada angkatan mendatang demi meneruskan kelangsungan negara-bangsa Indonesia yang lebih baik.

2) Demokrasi--> Kebebasan berpendapat dan prinsip musyawarah yang mencerahkan/bijaksana. Kemuliaan akhlak/moral manusia diuji yaitu dengan memaksimalkan pikirannya/idea-nya untuk berpikir terus-menerus menggunakan akal budi dan mengedepankan kejernihan nurani yang sudah karuniai oleh Tuhan serta menghargai perbedaan pendapat dengan tujuan menyintesiskan, 'mencari jalan tengah', pada pendapat-pendapat yang ada menjadi kesatuan suara yang bulat demi kemajuan umum (Sosialisme). Maka dengan ini, sistem kediktatoran harus dihapuskan (totaliarianisme, dsb.) KARENA bisa menghambat kelangsungan demokrasi permusyawaratan. Suatu sistem kediktatoran (kepemimpinan satu arah dan bersifat represif) tidak dibenarkan dalam Indonesia yang dasar filosofisnya Pancasila karena bertentangan dengan asas demokrasi yang menjujung tinggi persamaan dan kebebasan berpikir (permusyawarahan, mengakomodasi perspektif dari banyak arah, bersifat persuasif dan juga reflektif--terkandung pada sila ke-4). Dan pada akhirnya, kediktatoran bertentangan pula terhadap asas keTuhanan karena Tuhan mengajarkan manusia untuk tidak serakah dalam hal apapun, termasuk melegitimasi kekuasaan secara sepihak.

3) Sosialisme--> Pembebasan masyarakat dari ketidakadilan sistem politik, ekonomi, pendidikan, sosial-budaya dan juga dari tirani, oligarki, kediktatoran agar tercipta harmonisasi masyarakat yang berdasar pada karakteristik masyarakat madani (civil society) yaitu menjunjung tinggi kesetaraan, keadilan, dan demokrasi. Masyarakat madani dalam implementasinya akan membentuk suatu tatanan masyarakat yang Sadar Hukum. Masyarakat tidak perlu lagi khawatir dengan hak-haknya terampas oleh para tyrants--dalam hal ini bisa oleh Pemerintah diktator, Pemerintah yang lalai dalam menjalankan tugas, Mafia Pasar Bebas, Mafia Peradilan, Pejabat korup, kerumitan birokrasi, dll.-- karena masyarakat sudah menyadari akan berlakunya kepastian hukum negara. Dalam sosialisme, setiap warga negara meyakini HAK semua manusia itu pada dasarnya sama, yaitu 1) sebagai subyek: kebebasan menentukan pilihan hidup/keyakinan/pandangan hidup (Demokrasi) seiring dengan KEWAJIBAN yang mengikat sebagai mahluk/individu (Ciptaan Tuhan) yang senantiasa menjunjung tinggi keadilan sosial (Sosialisme) dan 2) sebagai objek: berhak mendapatkan penghidupan yang layak, seperti keterjangkauan kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan) dan kemudahan akses pendidikan dan kesehatan. Jadi, kebebasan dalam konteks sosialisme adalah kebebasan yang bertanggung jawab sosial. Oleh karena itu, menurut saya, sosialisme dapat dijalankan dengan cara: Persamaan Hak setiap manusia dan melaksanakan Kewajiban Sosial secara konsekuen agar tercipta suasana yang tidak diskriminatif, aman, adil, terbuka dan saling percaya.

Sosialisme dapat dimulai dari lingkungan yang terkecil, seperti pada diri sendiri (membangun kesadaran sosial individual), keluarga, RT RW, kecamatan, dan seterusnya sampai pada lingkungan yang besar seperti bernegara. Tidak melulu sosialisme yang menekankan pada hegemoni kekuasaan politik yang terfokus pada perebutan kekuasaan elitis dan cenderung pragmatis (negatif)..

Sesuatu yang besar dimulai dari yang kecil..
Maka benih dari sosialisme itu sebenarnya ada pada individualisme, dimana individu-individu melalui proses: 1) internalisasi (penanaman nilai-nilai sosial dalam keluarga dan agama), 2) sosialisasi (pola dan perilaku bermasyarakat dengan cara menghargai HAM setiap anggota masyarakat dan melaksanakan tanggung jawab sosial kita selaku anggota masyarakat ) dan 3) enkulturasi (membudidayakan perilaku sosialistis untuk membangun peradaban). Diharapkan dengan ketiga 'resep' itu, setiap individu dapat menjadi pribadi yang unggul (Insan Kamil) yang kemudian secara sadar mendedikasikan dirinya untuk keharmonisan masyarakat.

Sosialisme merupakan suatu cara hidup (way of life) masing-masing pribadi manusia (individu) dengan keyakinannya pada Tuhan (sumber nilai kebajikan dalam agama masing-masing) dan dengan sendirinya nilai kebajikan tersebut diwujudkan dalam membina kehidupan bermasyarakat sebagai mahluk sosial.

Setiap individu dapat berkembang dengan bebas (human capital development) tanpa harus ada intervensi negara yang terlalu besar (contohnya adalah sosialisme-komunisme soviet yang akhirnya runtuh) karena saya meyakini sosialisme adalah untuk masyarakat seluruhnya BUKAN untuk pejabat negara. Ini sama halnya dengan apa yang terjadi dalam masa Orde Baru: dimana pejabat negara mengeruk banyak profit dari rakyat secara lokal regional maupun nasional demi kepentingan kroni-kroninya..kapitalisme kroni adalah penyakit yang harus dihindari..ini sangat menyalahi prinsip demokrasi, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat seluruhnya, bukan di tangan segelintir pejabat negara (oligarki).
Pejabat negara tidak boleh membuat peraturan yang memberatkan masyarakat untuk dapat bisa berkreasi dan berinovasi. Pejabat negara harus menjunjung tinggi HAM secara umum, tanpa memandang kelas sosial ataupun status sosial, secara konsisten berdiri untuk menegakkan keadilan yang hakiki dengan dipelopori oleh lembaga hukum dan kehakiman negara.
Kembali pada individualisme: Negara sosialis tidak perlu paranoid atau alergi terhadap kebebasan individual tersebut, karena seperti yang sudah saya bahas sebelumnya bahwa kebebasan individu itu terikat erat dengan kewajiban sosial. Negara hanya cukup mengamati dan melayani kebutuhan masyarakat, baik moral maupun materil, serta memberikan kepastian hukum kepada warga negaranya demi menunjang penghidupan dengan akses-akses yang mudah bagi seluruh masyarakat, tanpa terkecuali orang miskin dengan taraf hidup serendah-rendahnya DIWAJIBKAN diberi kemudahan mengakses modal untuk usaha, pendidikan, dan pelatihan bakat cuma-cuma untuk mengetahui potensi masing-masing individu. Tujuannya adalah untuk memandirikan masyarakat, yaitu mengangkat kelas bawah yang kurang mampu menuju masyarakat kelas menengah yang mapan.

Redefinisi sosialisme disini ialah dimulai secara etimologis, yakni dari akar kata 'sosial'. Sosial dapat berarti pergaulan hidup manusia. Maka, Sosialisme itu pada hakikatnya adalah 'mengajarkan manusia tentang suatu cara pergaulan hidup yang peka terhadap nilai-nilai sosial dan Hak Asasi Manusia'--karena sebelumnya sifat sosial manusia itu dibelenggu oleh sistem kapitalisme negatif (penguasa bersekongkol dengan pengusaha) yang bersifat profit oriented, dan eksklusif (politik golongan): mengabaikan aspek sosial/Hak Asasi Manusia secara umum. Sosialisme timbul karena munculnya kapitalisme eksklusif, di mana di dalam kapitalisme eksklusif itu batas-batas sosial dan HAM secara umum dilanggar demi memenuhi kepentingan segelintir orang saja. Oleh karena itu, sosialisme pada gilirannya akan menyadarkan dan menegaskan batas-batas sosial itu demi kemajuan peradaban manusia secara umum. Revitalisasi sosialisme dalam praktik kehidupan bernegara adalah suatu 'keharusan sejarah kemanusiaan'.

Dalam melakukan eksperimen pengertian ini, saya mencoba melenceng dari disiplin-disiplin ideologi sosialisme yang klasik atau 'umum'. Saya pikir mendefinisi ulang sosialisme adalah suatu kebutuhan, yang sekian lama 'kaku' terfokus pada pemikiran atau cara-cara Marxisme-Leninisme semata. Menurut saya, untuk apa manusia dilahirkan hanya untuk dikuasai dan dikungkung sebuah ideologi? yang benar adalah kebalikannya, ideologi adalah sebuah kajian untuk dipelajari (dikuasai) manusia agar manusia selalu berdialektika, bereksperimen terhadap kebenaran (atau dalam istilah Islam ialah seorang yang 'hanif' yaitu condong kepada Kebenaran). Tidak ada pemikiran manusia yang mutlak, maka dari itu pikiran kita selalu dituntut untuk bijaksana dalam menyikapi berbagai hal, termasuk tentang sosialisme ini. Mendinamiskan ideologi adalah suatu keharusan.

Sosialisme disini adalah bermaksud membimbing manusia ke arah kemerdekaan pikiran (pembebasan atas belenggu kebodohan moril dan pemiskinan materiil struktural) agar masing-masing individu sadar akan potensi mereka sendiri, tidak karena paksaan tapi karena kesadaran, bersamaan dengan pertanggungjawaban terhadap keadilan sosial. Negara harus tak henti-hentinya melakukan tindakan persuasif-edukatif, bukan represif.
tindakan persuasif-edukatif itu dicontohkan oleh, dalam agama Islam dan menurut saya ini bersifat universal, Nabi Muhammad ketika menyebarkan ajaran Islam pertama kali di Mekkah. Beliau diusir oleh kaum Quraisy (penduduk Mekkah) saat itu, dan beliau tidak panik dengan melawannya secara frontal. Beliau yakin potensi manusia adalah kerendahan hati dan tunduk kepada Yang Kuasa, maka dari itu Nabi hanya cukup membimbing untuk mengajak manusia sadar (persuasif), tidak perlu cara-cara yang berlebihan (represif) seperti konfrontasi, invasi, dsb.. Seperti yang kita ketahui bersama, Nabi mengucapkan secara lisan untuk mencerahkan kembali potensi manusia (fitrah manusia) yang Tunduk Pada Kebesaran Tuhan, dan apabila terkadang secara fisik, seperti perang, Nabi mengedepankan sikap defensif daripada ofensif. Kemudian, tak bisa dipungkiri betapa luhurnya nilai-nilai Islam yang dibawa Nabi Muhammad diabadikan secara literal (zaman sesudah nabi dengan dirampungkannya al-Quran sebagai bukti Kebesaran Tuhan). Dengan demikian perjuangan nabi tersebut adalah universal (read: sebagai nilai-nilai luhur kemanusiaan yang diakui bersama kebenarannya yang mencakup lintas ras, suku, bangsa, maupun agama), tidak berdasar paksaan, tidak dengan 'penaklukan', tetapi dengan kesadaran mereka (read: masyarakat) sendiri. Dan implikasinya adalah ajaran Nabi dapat diterima sebagai ajaran untuk membangun 'Peradaban' yang luhur', rahmatan lil alamin.

Sosialisme disini bisa diperjuangkan secara revolusioner (tanpa kekerasan) dengan cara yang demokratis melalui sosialisasi yang intensif tentang sistem negara dan birokrasi yang memudahkan akses seluruh masyarakat (baik bagi yang kaya dan terutama yang miskin) untuk dapat mengembangkan etos kerja Manusia Merdeka dan Bertanggung Jawab Sosial Berlandaskan keTuhanan (kerendahan hati).

Pada akhirnya, maksud saya menuliskan tentang keTuhanan, Demokrasi, dan Sosialisme ini adalah sebenarnya merupakan sebuah kajian ulang dari ideologi negara kita, yaitu Pancasila. Saya rasa mengkaji Pancasila ialah suatu keharusan Warga Negara Indonesia agar ideologi ini selalu dinamis, semakin hari semakin dipertajam visinya.

Note:
"Negara hanya sebuah alat bantu (tool) masyarakat"
tapi banyak orang yang salah mengartikan negara sebagai sebuah tujuan untuk menampilkan kekuasaan terhadap masyarakat. (seperti yg terjadi di DPR sekarang, terlalu membanggakan diri menjadi anggota dewan, padahal mereka hanyalah sebagai 'pembantu' masyarakat. Dalam istilah Bung Karno, seorang wakil rakyat bisa diibaratkan sebagai "budak daripada rakyatnya"). Dan yang terpenting, hal yang merupakan bangunan kokoh seseorang dalam menjalani tugas kenegaraannya adalah sadar bahwa kekuasaan Tuhan adalah yang Mutlak, kekuasaan negara (duniawi) hanya temporer dan oleh karena itu harus diregenerasi sehingga mencegah agar tidak haus kekuasaan. Inilah hakikat dari sila ke-1 Pancasila, keTuhanan Yang Maha Esa. Kemudian juga sila ke-4, kerakyatan yang DIPIMPIN OLEH HIKMAH KEBIJAKSANAAN, jadi bukan dipimpin oleh orang kuat/diktator ataupun hegemoni kekuasaan koalisi partai-partai besar.