Bagi yang suka membaca sejarah Indonesia, mungkin teman2 sekalian tahu apa yang dinamakan 'Amanat Penderitaan Rakyat' (selanjutnya disingkat 'Ampera'). Ampera adalah ungkapan/slogan yang sering dipakai Presiden Republik Indonesia pertama, Sukarno, untuk mengilhami perjuangannya dalam berbangsa-bernegara yang bertujuan untuk mensejahterakan dan memakmurkan rakyat Indonesia. Dasar pemikiran/latar belakang tercetusnya gagasan Ampera ini adalah bermula dari latar situasi dan kondisi nasib bangsa dan rakyat Indonesia yang sudah beratus-ratus tahun mengalami keterbelakangan dan kemelaratan karena dibelenggu oleh nafsu/sistem kolonialisme-imperialisme. Sistem kolonialisme-imperialisme adalah suatu sistem penguasaan/monopoli oleh segelintir kelompok atas sumber-sumber daya yang menyangkut hajat hidup orang banyak (seperti sumber-sumber daya pangan, pendidikan, kesehatan, perumahan. dll.). Dalam masa penjajahan Hindia-Belanda, kelompok yang memonopoli sumber-sumber daya adalah VOC/pemerintahan Belanda & para pembesar daerah/priyayi pribumi). Singkatnya, mereka yang memonopoli itu tidak sudi untuk membagikan sumber-sumber daya itu kepada semua lapisan masyarakat, maka terjadilah penderitaan rakyat dimana-mana
Melalui text-book sejarah, untuk memahami Ampera sungguh masih abstrak. Pun melalui pemberitaan di media massa, kesulitan-kesulitan masyarakat hanya sebatas di pelupuk mata saja.
Pada akhirnya, Alhamdulillah saya diberi kesempatan untuk melihat lebih dekat apa itu Ampera dan kenapa penderitaan rakyat itu bisa sampai 'ada'. Dengan bersentuhan langsung dengan orang-orang yang sedang mengalami kesulitan-kesulitan hidup tersebut, hati saya bergetar karena buku2 sejarah yang selama ini saya baca serta pemberitaan2 media massa yang sering saya lihat seakan-akan datang 'menampar' wajah saya seiring lalu ada suara berbisik, 'Inilah kenyataan, bung!'.
Awal pertemuan saya dengan Ampera
Waktu itu siang hari di bulan September 2010. Saya sedang dalam perjalanan ke rumah saudara di antar oleh seorang teman. Rumah saudara saya di daerah Cipadu, kabupaten Tangerang Selatan, provinsi Banten. Di dalam perjalanan, saya melihat seorang ibu membawa sebuah map cokelat. Dengan mengendarai sepeda motor, awalnya saya hanya melintasi ibu tersebut yang sedang berjalan kaki, seiring kemudian terlintas di benak saya 'membawa apa ibu itu? Isinya map itu apa?'. Perasaan ingin tahu saya kemudian semakin menjadi-jadi ketika ibu itu dengan mimik wajah memelas berdialog dengan seseorang di jalanan. Sepertinya dari gerak-geriknya ibu itu sedang memohon pertolongan. Namun, sekilas berlalu saya sepertinya tidak terlalu menghiraukan permasalahan ibu itu seiring dengan laju sepeda motor saya yang tanpa henti terus bergerak ke arah rumah saudara saya.
Sesampainya di rumah saudara saya, saya hanya mengantarkan sebuah barang titipan, tidak berlama-lama untuk beramah-tamah dan sebagainya. Langsung saja setelah itu, saya berniat untuk bergegas pulang. Namun tanpa disangka-sangka, ibu yang tadi saya lihat di jalan menghampiri rumah saudara saya. Rumah saudara saya memang tidak jauh dari tempat ibu tadi berdialog dengan seseorang di jalanan. Lantas, ibu itu bertanya, "Mas, boleh minta tolong nggak?". Saya jawab, "Ya, bu, ada apa ya?". "Ini anak saya mau masuk sekolah, tapi nggak ada biayanya. Nih, mas boleh liat sendiri berkas2 anak saya (sambil membuka map amplop berwarna coklat kemudian mengeluarkan kertas-kertas). Ini ada ijazah lulus SMP, Surat Tanda Tamat Belajar (STTB), nilai rapot", ibu itu menjelaskan panjang lebar.
Ibu itu kemudian melanjutkan berkata, "minta tolong mas berapa aja (maksudnya minta uang) seikhlasnya". Dengan dahi yang mengkerut saya berkata dalam hati, "Apa benar berkas2 yang dibawa ini adalah anak ibu ini? bisa aja bohong." Pikirku langsung terarah pada kemungkinan buruk, bahwa ibu ini hanyalah 'seorang minta-minta yang malas bekerja'. Tetapi, saya kemudian tidak mengabaikan ibu ini begitu saja. Ada rasa percaya yang tumbuh di dalam hati saya terhadap ibu ini. Berdasarkan berkas2 yang saya baca, saya melihat seorang potret anak bangsa yang berprestasi. Lantas, saya langsung tergerak untuk membuktikan apakah ibu ini benar2 ibu dari anak yang ada di berkas tersebut, "Bu, sore nanti bisa ketemuan? kalo bisa bawa anak ibu, saya mau ngobrol langsung dengan anak ibu. kita janjian dimana gitu. Rumah ibu dimana?" tanya saya. "Rumah ibu di daerah Cipadu, Kreo, mas." Jawab ibu itu. kemudian saya tanya lagi, "kira2 kita nanti bisa janjian dimana ya?", langsung ibu itu menjawab, "di G**** (salah satu supermarket) aja mas, dari rumah saya lumayan deket kalo kesitu". Saya setuju, "oke deh bu, hmm kira2 jam 4 yaa ketemu disana".
Waktu terus bergulir sampai pada jam 4 sore, saya menunggu ibu tersebut di tempat yang sudah dijanjikan. Jam 4 lewat sedikit, ibu itu belum nampak, dan muncullah prasangka-prasangka buruk di benak saya bahwa ibu tadi berbohong dan sebagainya. Saya sudah ingin bergegas pulang dengan penuh kekecewaan. Namun ternyata takdir Tuhan berkata lain. Saya akhirnya dipertemukan lagi dengan ibu tadi yang membawa serta anaknya. Ternyata benar, anak yang ada di berkas itu memang anak ibu ini. Kemudian saya berkenalan lebih jauh dengan ibu ini beserta anaknya. Nama ibu ini adalah 'Herawati" dan anaknya bernama "Anggi". Setelah berbincang-bincang lebih dalam, akhirnya saya menetapkan hati untuk membantu ibu Herawati. Awalnya saya hanya ingin membantu untuk biaya masuk sekolah Anggi, namun takdir sekali lagi berkata lain. Saya diminta untuk mengajar di sekolahnya Anggi. Dari mengajar, saya mendapat pengalaman baru dan teman-teman baru, yaitu para guru yang mengajar di sana serta teman-temannya Anggi. Sungguh, kepuasan yang tidak bisa digambarkan, betapa Tuhan telah mencurahkan kasih sayang-Nya kepadaku dengan meluaskan tali silahturahmiku ke orang-orang ini:')
Saya mulai menyadari bahwa rasa persaudaraan bukan cuma di lingkaran dalam keluarga saya saja. Lebih dari itu, saya memaknai persaudaraan yang lebih luas dengan orang-orang di luar sana, dari keluarga orang lain yang sebelumnya saya merasa asing. Adalah miris melihat keadaan yang dialami keluarga Ibu Herawati ini, terutama saya memperhatikan masalah keberlanjutan pendidikan anaknya. Anaknya cukup berprestasi, nilai ujian akhirnya di atas rata-rata, dan sebenarnya berpotensi untuk masuk ke SMA/SMK negeri unggulan. Tapi apa mau dikata, kendala biaya kemudian menghalangi jalan anak berprestasi ini untuk bercita-cita lebih jauh.
Ironis memang, kebutuhan dasar pendidikan untuk semua rakyat masih jauh dari kenyataan, padahal dari tahun 1945 sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar. Sosialisasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan sekolah gratis sudah digencarkan dimana-mana, di TV, di spanduk-spanduk, tapi lagi lagi.. kenyataannya kok nggak gratis???
Demikianlah cerita pertemuan saya dengan ibu Herawati, ibu yang memelas minta pertolongan di suatu siang di bulan September 2010. Memelas minta tolong karena terhimpit persoalan biaya pendidikan anaknya. Ternyata sistem kolonialisme-imperialisme itu masih nyata ada sampai sekarang, namun pelakunya adalah BANGSA SENDIRI. Dari sinilah saya kemudian mengilhami arti 'Amanat Penderitaan Rakyat'.
Pada akhirnya, Alhamdulillah saya diberi kesempatan untuk melihat lebih dekat apa itu Ampera dan kenapa penderitaan rakyat itu bisa sampai 'ada'. Dengan bersentuhan langsung dengan orang-orang yang sedang mengalami kesulitan-kesulitan hidup tersebut, hati saya bergetar karena buku2 sejarah yang selama ini saya baca serta pemberitaan2 media massa yang sering saya lihat seakan-akan datang 'menampar' wajah saya seiring lalu ada suara berbisik, 'Inilah kenyataan, bung!'.
Awal pertemuan saya dengan Ampera
Waktu itu siang hari di bulan September 2010. Saya sedang dalam perjalanan ke rumah saudara di antar oleh seorang teman. Rumah saudara saya di daerah Cipadu, kabupaten Tangerang Selatan, provinsi Banten. Di dalam perjalanan, saya melihat seorang ibu membawa sebuah map cokelat. Dengan mengendarai sepeda motor, awalnya saya hanya melintasi ibu tersebut yang sedang berjalan kaki, seiring kemudian terlintas di benak saya 'membawa apa ibu itu? Isinya map itu apa?'. Perasaan ingin tahu saya kemudian semakin menjadi-jadi ketika ibu itu dengan mimik wajah memelas berdialog dengan seseorang di jalanan. Sepertinya dari gerak-geriknya ibu itu sedang memohon pertolongan. Namun, sekilas berlalu saya sepertinya tidak terlalu menghiraukan permasalahan ibu itu seiring dengan laju sepeda motor saya yang tanpa henti terus bergerak ke arah rumah saudara saya.
Sesampainya di rumah saudara saya, saya hanya mengantarkan sebuah barang titipan, tidak berlama-lama untuk beramah-tamah dan sebagainya. Langsung saja setelah itu, saya berniat untuk bergegas pulang. Namun tanpa disangka-sangka, ibu yang tadi saya lihat di jalan menghampiri rumah saudara saya. Rumah saudara saya memang tidak jauh dari tempat ibu tadi berdialog dengan seseorang di jalanan. Lantas, ibu itu bertanya, "Mas, boleh minta tolong nggak?". Saya jawab, "Ya, bu, ada apa ya?". "Ini anak saya mau masuk sekolah, tapi nggak ada biayanya. Nih, mas boleh liat sendiri berkas2 anak saya (sambil membuka map amplop berwarna coklat kemudian mengeluarkan kertas-kertas). Ini ada ijazah lulus SMP, Surat Tanda Tamat Belajar (STTB), nilai rapot", ibu itu menjelaskan panjang lebar.
Ibu itu kemudian melanjutkan berkata, "minta tolong mas berapa aja (maksudnya minta uang) seikhlasnya". Dengan dahi yang mengkerut saya berkata dalam hati, "Apa benar berkas2 yang dibawa ini adalah anak ibu ini? bisa aja bohong." Pikirku langsung terarah pada kemungkinan buruk, bahwa ibu ini hanyalah 'seorang minta-minta yang malas bekerja'. Tetapi, saya kemudian tidak mengabaikan ibu ini begitu saja. Ada rasa percaya yang tumbuh di dalam hati saya terhadap ibu ini. Berdasarkan berkas2 yang saya baca, saya melihat seorang potret anak bangsa yang berprestasi. Lantas, saya langsung tergerak untuk membuktikan apakah ibu ini benar2 ibu dari anak yang ada di berkas tersebut, "Bu, sore nanti bisa ketemuan? kalo bisa bawa anak ibu, saya mau ngobrol langsung dengan anak ibu. kita janjian dimana gitu. Rumah ibu dimana?" tanya saya. "Rumah ibu di daerah Cipadu, Kreo, mas." Jawab ibu itu. kemudian saya tanya lagi, "kira2 kita nanti bisa janjian dimana ya?", langsung ibu itu menjawab, "di G**** (salah satu supermarket) aja mas, dari rumah saya lumayan deket kalo kesitu". Saya setuju, "oke deh bu, hmm kira2 jam 4 yaa ketemu disana".
Waktu terus bergulir sampai pada jam 4 sore, saya menunggu ibu tersebut di tempat yang sudah dijanjikan. Jam 4 lewat sedikit, ibu itu belum nampak, dan muncullah prasangka-prasangka buruk di benak saya bahwa ibu tadi berbohong dan sebagainya. Saya sudah ingin bergegas pulang dengan penuh kekecewaan. Namun ternyata takdir Tuhan berkata lain. Saya akhirnya dipertemukan lagi dengan ibu tadi yang membawa serta anaknya. Ternyata benar, anak yang ada di berkas itu memang anak ibu ini. Kemudian saya berkenalan lebih jauh dengan ibu ini beserta anaknya. Nama ibu ini adalah 'Herawati" dan anaknya bernama "Anggi". Setelah berbincang-bincang lebih dalam, akhirnya saya menetapkan hati untuk membantu ibu Herawati. Awalnya saya hanya ingin membantu untuk biaya masuk sekolah Anggi, namun takdir sekali lagi berkata lain. Saya diminta untuk mengajar di sekolahnya Anggi. Dari mengajar, saya mendapat pengalaman baru dan teman-teman baru, yaitu para guru yang mengajar di sana serta teman-temannya Anggi. Sungguh, kepuasan yang tidak bisa digambarkan, betapa Tuhan telah mencurahkan kasih sayang-Nya kepadaku dengan meluaskan tali silahturahmiku ke orang-orang ini:')
Saya mulai menyadari bahwa rasa persaudaraan bukan cuma di lingkaran dalam keluarga saya saja. Lebih dari itu, saya memaknai persaudaraan yang lebih luas dengan orang-orang di luar sana, dari keluarga orang lain yang sebelumnya saya merasa asing. Adalah miris melihat keadaan yang dialami keluarga Ibu Herawati ini, terutama saya memperhatikan masalah keberlanjutan pendidikan anaknya. Anaknya cukup berprestasi, nilai ujian akhirnya di atas rata-rata, dan sebenarnya berpotensi untuk masuk ke SMA/SMK negeri unggulan. Tapi apa mau dikata, kendala biaya kemudian menghalangi jalan anak berprestasi ini untuk bercita-cita lebih jauh.
Ironis memang, kebutuhan dasar pendidikan untuk semua rakyat masih jauh dari kenyataan, padahal dari tahun 1945 sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar. Sosialisasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan sekolah gratis sudah digencarkan dimana-mana, di TV, di spanduk-spanduk, tapi lagi lagi.. kenyataannya kok nggak gratis???
Demikianlah cerita pertemuan saya dengan ibu Herawati, ibu yang memelas minta pertolongan di suatu siang di bulan September 2010. Memelas minta tolong karena terhimpit persoalan biaya pendidikan anaknya. Ternyata sistem kolonialisme-imperialisme itu masih nyata ada sampai sekarang, namun pelakunya adalah BANGSA SENDIRI. Dari sinilah saya kemudian mengilhami arti 'Amanat Penderitaan Rakyat'.
Apa itu Ampera?
Ampera mencakup segala nasib kehidupan orang-orang yang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya masih kesulitan. Kebutuhan dasar itu mencakup antata lain pangan, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan bahkan hiburan. Kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut masih sulit dipenuhi karena tiadanya akses/syarat-syarat yang ringan dan praktis untuk memenuhinya. Rata-rata keadaan yang terbentuk di sekitar penderitaan rakyat adalah suatu keadaan yang serba-sulit, yang serba pelit, orang-orang sudah banyak yang tidak peduli terhadap sesamanya, orang-orang hanya memikirkan perutnya sendiri.
Kenapa sampai ada Ampera?
Coba setiap dari kita berkaca. Nah, di situlah letak terdekat Ampera, mengapa Ampera bisa sampai 'ada', yakni di diri kita sendiri. Kita, manusia, adalah pribadi yang rapuh dan lemah, tetapi terkadang untuk menutupi kerapuhan dan kelemahan kita itu kita justru dengan menguatkan kesombongan diri BUKANNYA bersyukur atas nikmat persaudaraan dan silahturahmi dari Tuhan. Pada akhirnya, kesombongan diri ini membawa kita pada perilaku ketidakpedulian (masa bodoh) terhadap sesama (lo-lo, gue-gue). Perilaku masabodoh manusia otomatis akan mematikan rasa empati di dalam hatinya. Dengan demikian, ketiadaan rasa empati inilah yang menyebabkan munculnya penderitaan rakyat dimana-mana.
Tidak usah jauh-jauh melihat kepada pemerintah, cukup lihat dan benahi dahulu yang terdekat yaitu diri kita sendiri. Sejauh mana kita telah peduli dengan lingkungan sekitar, sesama warga bangsa. Ataukah kita masih hanya berputar-putar hanya mempedulikan keluarga semata? Semakin manusia dewasa maka ia takkan bisa lepas dari masyarakatnya. Jadi jelas, pengabdian kepada keluarga itu harus, tapi pengabdian kepada masyarakat lebih lebih lagi harus ketika orang sudah mencapai tingkat kedewasaan yang cukup. Dengan bekal ilmu & sedikit pengorbanan harta yang kita miliki, insyaAllah itu akan bermanfaat bagi sesama kita. Apapun bidang/profesi/kemampuan yang kita miliki, yakinlah kita bisa bermanfaat bagi masyarakat dan mampu mengilhami apa itu 'Amanat Penderitaan Rakyat'.
Ampera mencakup segala nasib kehidupan orang-orang yang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya masih kesulitan. Kebutuhan dasar itu mencakup antata lain pangan, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan bahkan hiburan. Kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut masih sulit dipenuhi karena tiadanya akses/syarat-syarat yang ringan dan praktis untuk memenuhinya. Rata-rata keadaan yang terbentuk di sekitar penderitaan rakyat adalah suatu keadaan yang serba-sulit, yang serba pelit, orang-orang sudah banyak yang tidak peduli terhadap sesamanya, orang-orang hanya memikirkan perutnya sendiri.
Kenapa sampai ada Ampera?
Coba setiap dari kita berkaca. Nah, di situlah letak terdekat Ampera, mengapa Ampera bisa sampai 'ada', yakni di diri kita sendiri. Kita, manusia, adalah pribadi yang rapuh dan lemah, tetapi terkadang untuk menutupi kerapuhan dan kelemahan kita itu kita justru dengan menguatkan kesombongan diri BUKANNYA bersyukur atas nikmat persaudaraan dan silahturahmi dari Tuhan. Pada akhirnya, kesombongan diri ini membawa kita pada perilaku ketidakpedulian (masa bodoh) terhadap sesama (lo-lo, gue-gue). Perilaku masabodoh manusia otomatis akan mematikan rasa empati di dalam hatinya. Dengan demikian, ketiadaan rasa empati inilah yang menyebabkan munculnya penderitaan rakyat dimana-mana.
Tidak usah jauh-jauh melihat kepada pemerintah, cukup lihat dan benahi dahulu yang terdekat yaitu diri kita sendiri. Sejauh mana kita telah peduli dengan lingkungan sekitar, sesama warga bangsa. Ataukah kita masih hanya berputar-putar hanya mempedulikan keluarga semata? Semakin manusia dewasa maka ia takkan bisa lepas dari masyarakatnya. Jadi jelas, pengabdian kepada keluarga itu harus, tapi pengabdian kepada masyarakat lebih lebih lagi harus ketika orang sudah mencapai tingkat kedewasaan yang cukup. Dengan bekal ilmu & sedikit pengorbanan harta yang kita miliki, insyaAllah itu akan bermanfaat bagi sesama kita. Apapun bidang/profesi/kemampuan yang kita miliki, yakinlah kita bisa bermanfaat bagi masyarakat dan mampu mengilhami apa itu 'Amanat Penderitaan Rakyat'.